Cerpen "Burung-Burung Terbang ke Barat Laut" karya Meilani Elisa Putri (Juara 1 Lustrum VI SMA Muh 7 Yogyakarta)

Setiap kali kematian tercium amisnya, burung-burung itu terbang melayari langit. Memutar tiga kali kemudian melemparkan lengking sunyi dari paruhnya. Sebuah kesepian yang tak terhingga menggema dari angkasa kemudian luruh layaknya bunga tabebuya yang menanggalkan gugur duka. 

Setiap kali kematian tercium amisnya, beberapa ekor burung kembali terbang berputar-putar, melucuti cemas yang runcing dari kepaknya, menghunus jiwa-jiwa yang langkas dalam kematian. Maka berikutnya, jiwa-jiwa akan membumbung ke langit. Pergi dalam lecut tangis dan kehilangan.

***

Paman memajang wajahnya dengan tampang mengantuk, malam itu kami bercerita tentang burung-burung kuntul putih dengan kucir di kepala serta paruh hitam kelam yang sudah lama tinggal di sebatang pohon randu di pekarangan belakang rumah kami. Burung-burung kuntul yang datang dengan tiba-tiba, dari musim yang basah, dalam suasana sunyi dan kesepian yang utuh.

“Tidak ada yang mengira bahwa burung-burung itu akan menandai setiap kecemasan pada kematian penduduk. Burung-burung yang datang seminggu setelah seorang Sultan meresmikan sebuah jalan utama desa. Pada awalnya tidak ada satupun burung Kuntul di desa, namun karena sosok dan aura Sultan, burung-burung itu datang satu persatu hingga mencapai belasan. Burung itu, oleh warga, lantas dianggap mewarisi aura dan kegaibannya, hingga kini malah dikenal sebagai burung penanda kematian,” Paman menggusur tubuhnya ke belakang, bersandar pada kursi kayu.

“Orang-orang di desa sudah terlalu sering melihat gelagat burung-burung itu yang nampak cemas sebelum kematian datang. Salah satunya, suatu kali sebelum kakekmu meninggal, salah satu burung itu tiba-tiba terbang ke langit dengan suara yang menyayat hati. Lantas setelah putaran ketiga, burung itu meluncur di atas genting kamar kakekmu. Burung kuntul itu mengeluarkan bunyi berulang kali, layaknya tembang kematian yang menyakitkan. Dan benar saja, sore harinya kakekmu meninggal mendadak karena serangan jantung.”

“Begitu juga dengan gempa yang pernah mengguncang desa, sebelum peristiwa itu, pagi-pagi burung-burung kuntul itu berhamburan ke langit. Terbang dalam kekacauan, seperti buta, burung itu bahkan saling tabrak satu sama lain,” Paman sedikit bergeser membenarkan letak duduknya. Pandangan matanya terlempar ke dinding masa lalu.

“Tak lama dari itu warga merasakan guncangan gempa. Barangkali, burung itu kacau karena alam akan mengamuk. Sebab, gempa dapat membuat magnetik bumi berubah sehingga burung-burung itu kehilangan daya navigasinya. Pada akhirnya burung-burung itu terbang dengan gontai lantaran kehilangan arah, saat itu disertai pula teriakan parau, burung-burung itu melemparkan lengking yang menyayat,” Paman diam sesaat.

“Beberapa waktu setelah gempa burung-burung sempat menghilang seminggu lamanya.”

Cerita Paman menggema dalam pikiranku. Malam itu, sebelum tidur, aku menyempatkan menatap burung-burung itu dari halaman belakang. Burung-burung yang sunyi dan kesepian. 

Dalam kegelapan dan kelam yang merambat di udara, entah kenapa aku bisa merasakan keheningan itu. Tiba-tiba dadaku berdebar, terasa sesak. Aku teringat pada Bapak Ibu yang tadi sore pamit pergi menuju kota, seperti burung-burung itu, kata Paman, Bapak Ibu esok pagi-pagi sekali akan terbang ke luar pulau, menyeberangi laut dengan pesawat kedua. 

Aku pun pergi tidur. Rinduku kepada Bapak dan Ibu rasanya makin sesak.

***

Esok hari, entah kenapa burung-burung kuntul itu berhamburan ke langit. Tidak biasanya burung-burung itu terbang koyak moyak, meninggalkan pohon randu itu pagi hari seperti ini. Burung-burung itu memutar tiga kali lantas dengan tergesa meluncur menuju barat laut. 

Melihat itu, Paman yang berdiri di belakangku tiba-tiba memegang pundakku. Lantas mendekapku begitu erat, sangat erat. Aku bingung sekali. Tapi setelah aku melihat wajah Paman, aku tahu Paman saat itu sedang sedih, ia meneteskan banyak air mata. 

Dalam ketidaktahuan dan seklumit pertanyaan, wajah Bapak Ibu mendadak memenuhi ingatanku. Aku rindu Bapak Ibu yang pagi ini terbang ke luar pulau, terbang menyeberangi laut. Sempat terbesit dalam pikiranku tentang keadaan Bapak Ibu. Sekejap pikiranku kacau balau, apa semua ini? Begitu sulitnya untuk menerjemahkan serangkaian peristiwa yang tak pernah kumengerti.

Angin berhembus meniup dedaunan, memisahkannya dari pohon. Segelintir pertanyaan rasanya semakin bergeliat dalam pikiranku. Memaksaku untuk bertanya pada Paman.

“Apa semua ini Paman? Aku tak paham dengan alur Tuhan?” Tanya ku membawa semua kebingungan padanya.

Paman nampak tak begitu memperhatikan apa yang kuucap. Dia membenahi tubuh terlentangnya di atas dipan jati. Matanya membulat menatap langit-langit rumah.

“Ada apa nduk? Apa yang membawamu bertanya hal itu?” Jawab Paman. Dia tak menjawab pertayaanku dengan sebuah jawaban, melainkan pertanyaan. Belum sempat ku jawab, derai langkah kaki memecah suasana.

“Pakde! Pakde!” Teriak Banyu dengan keringat bercucuran tak henti mengalir.

“Banyu! Ono opo?” tanya Paman pada Mas Banyu.

Mata Mas Banyu tajam melihatku. Dia nampak membawa kabar penting. “Pakde.” Ucap Mas Banyu memperjelas nama Paman. “Pakde, sa.... saya mau bicara sama njenengan.”

Mas Banyu dan Paman terlihat berbisik. Tak lama, Mas Banyu pergi meninggalkan situasi yang aneh ini. Paman berbalik dan mendekapku erat. Pelukan dari Paman nampak begitu mengiris hatiku. Dekapan yang sama untuk kedua kalinya setelah pagi tadi.

“Diah, pesawat Bapak Ibumu kecelakaan.” Ucap Paman sembari menangis. Hatiku hancur, pandanganku kosong, pikiranku kacau. Sungguh, burung kuntul itu telah menunaikan tugasnya. Kulepaskan dekapan Paman.

“Apa yang paman katakan? Hal seperti ini tak akan terjadi padaku, Bapak Ibu baik-baik saja.” Aku terdiam meratapi kabar ini. Paman berusaha mendekap ulang ragaku yang mati.  “Bapak Ibu, kembalilah. Dekap erat anakmu ini. Jangan pergi”. Kata itu bergulat dengan kesepian di dalam hatiku.  

Rumah paman dipenuhi orang berpakaian putih hitam. Ragaku mati seketika. Bendera putih terombang-ambing di depan rumah. Tetesan air mata mengalir tanpa perlu ijinku. Hati ini hancur berkeping-keping dan tak lagi bisa ku kais. Tak lagi dapat ku pandang wajah cerah Ibu dan tawa hangat Bapak.

Raga orang yang begitu kusayangi tak dapat ditemukan. Hal itu membuatku hidup namun tak bernyawa. Mengapa Tuhan tak mengizinkan aku melihat wajah Bapak Ibu untuk yang terakhir kalinya. Burung kuntul itu telah berhasil menunaikan tugasnya. Membawa kabar yang tak pernah kubayangkan.

“Diah, ikhlaskan kepergian Bapak Ibumu. Ini jalan Tuhan nak, tidak baik terus-menerus meratapi kepergian Bapak Ibumu.” Ucap Paman dan membuat air mataku kembali menetes.

“Berhentilah membasahi pipimu itu, ini pesan Tuhan agar kau hidup mandiri. Semua harus berjalan dengan semestinya. Bapak Ibumu akan melihatmu tumbuh besar dan sukses dari langit Allah.” Sambung Paman menenangkanku.

Tetap saja diriku hancur dengan ketidaksempurnaan hidupku ini. Langkahku goyah dan tak ada penompang yang menjamin. Bapak Ibu, jangan melepas diriku di labirin dunia ini. Aku tak tahu lagi arah. Bapak Ibu, aku akan menjadi tamumu nanti.

***

Beberapa waktu semenjak kematian Bapak Ibu, burung-burung itu selalu terbang melayari langit menuju barat laut untuk waktu yang cukup lama. Mereka  memutar tiga kali kemudian melemparkan lengking sunyi dari paruhnya. Melucuti cemas yang runcing dari kepaknya, menghunus jiwa-jiwa yang langkas dalam kematian. Saat itu, tepat satu tahun kepergian Bapak Ibu, tanpa pernah lagi kembali. Tanpa kabar, tanpa jasad. 

Sesaat, seusai mengitari langit, burung itu lantas mengepakkan sayapnya, menyapu angin menuju ke barat laut. 

Angin pun berhembus, kali ini terasa dingin dan sepi. 

 

Gamping, Januari 2019