Cerpen "Negeri Asap" karya Angga T Sanjaya (Dimuat di Suara Merdeka Ahad, 4 November 2018)

Setiap hari aku juga membuat asap seperti Emak. Sore hari, aku dan dua temanku, Enggar Cino dan Halim Kliwir, suka sekali membakar uwuh di belakang rumah. Sebelumnya, kami kumpulkan uwuh berupa daun-daun kering dan sampah dari dalam rumah. Kami mengumpulkan dan membakar ramai-ramai. Asap ke mana-mana, sebelum membubung ke langit.

 

 

 

Kami bertiga sepakat memberi nama itu negeri asap, karena seluruh udara putih kental. Mirip negeri dongeng yang pernah Emak ceritakan. Semua kecintaanku terhadap asap bermula dari situ. Dari sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah liat.

 

 

 

Setiap hari bila Emak memasak, tanpa diperintah aku mengumpulkan kayu di belakang rumah. Emak tidak mengizinkan aku ikut memasak. Aku berulang kali menawar, merengek, agar diberi tugas membakar kayu. Emak akhirnya setuju. Aku senang sekali. Mulai saat itu ketika Emak hendak memasak, pagi dan sore, aku menjadi tukang bakar. Aku yang membuat nyala api di dapur Emak.

 

 

 

Mulai saat itu tugasku bertambah. Bukan hanya jadi juru kumpul kayu. Pangkatku pun naik, jadi juru bakar. Aku senang sekali. Setiap kali Emak bersiap memasak, kayu sudah kutata di tungku. Tungku itu terbuat dari dua batu kotak besar dengan lubang di tengahtengah. Di situlah tempat membakar kayu; asap membubung. Aku senang sekali, negeri asap buatanku akhirnya jadi.

 

 

 

Suatu sore, setelah membuat negeri asap di dalam rumah, aku pergi ke belakang rumah. Enggar Cino dan Halim Kliwir sudah menunggu. Sore itu kami bertiga akan membuat negeri asap lagi. Seperti biasa, sampah rumah dan daun kering kami kumpulkan. Lalu kami bakar ramai-ramai dengan korek kayu. Aku meminjam korek kayu Bapak, meski tidak minta izin. Sore-sore biasanya Bapak tidak menghirup asap. Bapak sedang tidur di bangku bambu depan rumah.

Asap kembali mengepung kami bertiga. “Negeri asap! Horeee!” teriak kami.

Negeri asap ciptaan kami hari itu sungguh istimewa. Asap yang kami buat lebih besar daripada sebelumnya. Hari itu sampah dan daundaun kering yang kami kumpulkan banyak sekali. Kami berburu uwuh dengan sangat baik.

 

Suatu ketika aku punya rencana membuat asap lebih besar lagi. Aku segera memanggil Enggar Cino dan Halim Kliwir untuk berkumpul. Aku menyampaikan rencanaku. Rencana yang tiba-tiba datang bagai ilham ketika aku berak. Aku mengusulkan sebuah permainan ” Pembakar Hutan dan Polisi-polisian” . Saat itu kami sepakat membuat undian. Dengan suit kami menentukan peran. Aku kalah. Aku mendapat peran jadi pembakar hutan, sedangkan Enggar Cino dan Halim Kliwir jadi polisi.

 

Dibantu mereka, aku menyiapkan sampah dan daun kering. Beberapa daun kelapa yang baru jatuh juga kami kumpulkan. Batangbatang kayu kering kami pangkas dan tumpuk. Semua serabut kelapa di dalam rumah kami cerabut dari batok. Akar kering dan daun jati kami pangkas habis. Bahan bakaran sudah siap. Permainan siap kami mulai.

Enggar Cino dan Halim Kliwir berlari ke pos, tak jauh dari bebakaran. Mereka berdua siaga di sana. Aku sembunyi di tempat yang tak mereka ketahui. Tugasku jadi pembakar hutan. Akulah pencuri kayu dan pembuka lahan baru. Aku si pembakar hutan harus lihai. Semua harus berjalan lancar agar tak ketahuan. Permainan ini sungguh mendebarkan.

Aku pun berjingkat. Berjalan pelan dan sesekali menengok ke arah mereka. Aku sembunyi di antara pohon-pohon besar. Badanku yang kecil mendukung aksiku. Aman. Dengan memanfaatkan kelengahan mereka, aku mendekati lokasi. Tujuanku membakar tumpukan sampah. Karena penjagaan mereka kembali ketat, tak mudah bagiku sampai ke bahan bebakaran.

Sewaktu Enggar Cino dan Halim Kliwir berpencar untuk bergerilya, aku mengambil kesempatan untuk menyerang. Akhirnya, dengan gerakan cepat, aku sampai ke target. Segera kunyalakan korek api, membakar daundaun kering, lalu menempatkan di bagian paling bawah. Tidak lama uwuh itu terbakar. Api menyala begitu besar, melebihi tinggi badanku. Asap mengepul ke mana-mana. Jantungku berdebar. Negeri asap di belakang rumah menyala hebat dan melepaskan asap begitu banyak.

Setelah kebakaran hebat itu, segera aku lari sekuat tenaga agar mereka tidak menangkapku. Terlambat. Enggar Cino dan Halim Kliwir telah mengepungku. Enggar Cino di hadapanku, Halim Kliwir tepat di belakang. Mereka merentangkan tangan sambil menggeser kaki ke kanan dan ke kiri. Aku terdesak. Susah payah aku menghindar, berlari ke kanan. Namun Enggar Cino segera menarik lenganku. Halim Kliwir meraih kakiku. Kami bertiga jatuh di tanah. Keadaan menegangkan. Tibatiba suara Emak melengking dari dapur. Emak membentak kami yang masih terjungkal. Kami kaget bukan main. Akhirnya permainan itu berakhir dengan kemarahan Emak padaku. Kami bertiga bubar sembari tertunduk lesu. Enggar Cino dan Halim Kliwir melirikku. Kami bertiga tersenyum kecut. Setidaknya asap buatan kami membubung anggun, menerobos daundaun, dan terbang ke langit. Dalam hati, aku memekik girang.

Sejak sore itu, ketika Emak sibuk memasak, kami bermain ” Pembakar Hutan dan Polisipolisian¡ lagi. Aku bertugas kembali mencuri kayu dan membuka lahan baru. Sembunyi-sembunyi kami membuat negeri asap di belakang rumah. Hari berikutnya, negeri asap kami buat lebih jauh dari dapur rumah. Tentu agar Emak tidak curiga dan aksi kami berjalan lancar.

Sejak saat itu pula, karena aku yang sering jadi pembakar, julukan itu makin melekat padaku. Enggar Cino dan Halim Kliwir menjulukiku Joko si Pembakar. Setelah keluargaku dan beberapa tetangga mendapat perintah pindah ke luar pulau, julukan itu berakhir. Mereka berdua pindah ke tempat berbeda. Aku sedih sekali.

Ketika aku tanya, Bapak cuma berkata itu program pemerintah. Begitu seingatku.

 

***

 

Negeri asap sudah berlalu. Bertahun-tahun telah lewat. Setelah dewasa, aku pun mengelana, datang ke sebuah kota besar untuk melanjutkan sekolah. Di sini, tanpa kuduga, aku seperti kembali ke masa kanak dulu.

Saat ini, aku berdiri memimpin sebuah rombongan besar. Aku bersiap melawan siapa pun, membakar apa pun. Aku seperti tengah berhadapan dengan Enggar Cino dan Halim Kliwir, dulu, di belakang rumah.

Aku segera berjalan pelan, lalu melaju, makin cepat, terus melaju. Hari ini, seperti dulu, aku bersiap membuat negeri asap lagi. Kami menembus hujan peluru, membakar kendaraan dan apa pun yang bisa kami bakar. Kami terus melawan.

Sedikit demi sedikit, kami seperti meruntuhkan tembok besar, menghancurkan kekukuhan kekuasaan. Bukankah perdamaian tercipta dari kehancuran dan kematian? (28)

Jejak Imaji, 2018

Biodata: Angga T Sanjaya alumnus Univ. Ahmad Dahlan ini lahir di Wonosari, Gunungkidul, 7 Juni 1991. Kini, mahasiswa Pascasarjana UNY ini mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping. Pegiat di Komunitas Jejak Imaji ini tinggal di Yogyakarta.

Catatan: Pernah dimuat di Suara Merdeka pada Ahad, 4 November 2018.