Cerpen "Pertemuan Terakhir Seorang Penyair" karya Angga T Sanjaya (Tersiar di Jawa Pos Ahad, 28 April 2019)

Aku dengar seseorang bersuara, melengking dari kejauhan.

“Beberapa hari ini burung-burung terbang rendah, dan tadi malam aku lihat bulan dilingkari cincin…” Suara itu tidak asing. Aku tahu siapa yang kali ini datang.

“Seperti perkiraanku, musim hujan akan segera datang, dan puisi-puisi akan lebih banyak lahir…

“Itu berarti kamu akan menjadi penyair lagi,” pungkasnya.

 

Lalu langkah kaki itu menguar, berbagi dengan ricik air dan kicau burung. Kian dekat. Tidak lama, seseorang sudah berdiri di belakang. Kemudian duduk. Meletakkan tubuhnya di sampingku. Kami cukup lama berdiam, di bangku bambu, di bawah pohon jambu.

Aku menoleh padanya, melepaskan senyum, lalu kami saling merangkul.

“Rambutmu makin ikal, seperti penyair yang dulu selalu kamu bicarakan,” kataku sambil menarik tangan dari pundaknya. Dia hanya tersenyum.

“Kaca matamu makin tebal,” sahutnya, “Masih mengajar?”

Aku diam saja. Pertanyaan itu selalu mengganggu kenyamananku.

Ia pernah berkata, menjadi pengajar tidak akan memberi banyak hal. Dan satu lagi, katanya aku tidak akan punya banyak waktu untuk puisi. Tapi aku meyakinkannya. Bagiku, puisi adalah kehidupan. Ia tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Perkara mengajar, itu bukanlah pelarian. Aku hanya ingin menyibukkan diri. Hanya memberi jarak. Kalimat itu pernah tegas aku katakan padanya.

 

Di luar itu, sebetulnya kepergiannya memang tidak pernah mudah untukku. Seseorang yang mengenalkanku pada puisi, dunia yang tidak banyak orang tahu, dunia yang begitu istimewa, meski banyak orang di dalamnya terlanjur memberi penilaian yang skeptis, bahwa puisi tidak akan memberikan apa-apa. Tapi di situlah justru keistimewaannya, puisi membuat seseorang melakukan sesuatu bukan untuk apa-apa. Semata-mata hanya karena kepuasan. Dan kepuasan tidak ternilai harganya.

“Lalu, apa kamu berhenti menulis?”

Pertanyaannya terlontar lagi, kali ini sedikit pelan. Aku diam beberapa saat. Dia membuat pertanyaan yang dia sendiri tau jawabannya. “Aku memang lama tidak menulis. Tapi bukan berarti aku berhenti. Hanya saja, di antara jembatan waktu yang cukup panjang. Terlalu banyak hal yang berubah. Termasuk tentang puisi, dan mungkin kamu lebih tau jawabannya.”

Aku beranjak. Meninggalkannya yang memaku, memandang jauh bentangan sawah yang ujungnya diakhiri bukit. Tempat yang begitu lama ia lupakan. Ruang dimana kami bertempur. Membaca dan menulis. Terkadang juga bermain. Berlarian di atas pematang. Membajak. Mencari jangkrik di waktu malam. Atau berburu belalang ketika musim hujan. Dan beberapa kali ketika musim ulat besi, kami selalu bersama. Tidak ada musim yang tidak menarik dengannya. Aku yakin dia juga sedang mengingatnya saat ini.

Aku bergegas masuk rumah. Membuka korden, mengambil sesuatu di dapur. Aku tahu ia harus minum kopi. Ia jarang tidur. Dan hari ini aku kira ia juga belum tidur. Matanya redup, ada warna lebam di bawahnya.

Tidak lama, aku kembali, sudah dengan dua gelas kopi. Kopi kami selalu berbeda. Bukan perkara merk, tapi karena aku tidak pernah suka kopi pahit.

“Ini buatmu. Tiga sendok bubuk, tanpa gula.” Dia tersenyum. Aku tahu sekali ia suka kopi pahit. Baginya tidak ada waktu tanpa kopi pahit. Ia suka minum kopi saat pagi dan malam hari, sambil menghisap rokok kretek. Dulu pernah ia berkata bahwa kopi hanya bisa dinikmati dalam keadaan pahit. Jika ada gula, sudah tidak ada yang bisa dinikmati. “Orang-orang lebih suka yang begitu, yang tidak lagi terasa pahitnya, karena memang mereka tak paham menaikmati kopi.” Celetuknya waktu itu.

“Kau masih tidak suka kopi pahit?” sahutnya, “Artinya, kamu belum juga paham cara menikmati kopi. Sama seperti puisimu yang selalu gagal menangkap momen puitik. Puisimu tidak pernah benar-benar terasa pahit perihnya.”

 

Aku diam saja. Rasanya aku tidak juga sepaham dengannya. Ini hanya tentang kopi, bukan puisi. Lebih-lebih bicara puisi sama seperti berdebat soal selera. Aku juga tidak pernah setuju dengan puisi-puisinya, yang tak lebih dari duplikat Rendra. Kata-katanya nampak vulgar dan memaksa.

“Kamu memang tak pernah berhenti mengkritikku.”

Mendengar ucapanku dia hanya tertawa. Ia selalu merasa puas melakukannya. Tidak peduli aku marah dan tak suka. Tapi aku tahu, itu adalah caranya. Ia mengatakan sesuatu dengan cara yang tak banyak orang sukai. Tapi aku belajar menyukainya. Mengakrabi caranya menempeleng seseorang dengan kata-kata.

“Aku bawa oleh-oleh untukmu.” Ia membuka tas, mengeluarkan tiga bungkus kopi bubuk. Aku menerimanya, lantas aku berjalan ke pawon, memasukkan oleh-oleh itu ke lemari kayu.

Ketika aku kembali, dia berdiri menghadap bukit. Tubuhnya melaju beberapa langkah.

“Aku memutuskan berhenti menulis, juga segala hal tentang puisi.”

“Aku mulai menyadari, kita membutuhkan daya hidup di kehidupan ini. Dan puisi tak pernah mencukupi kebutuhan itu.” lanjutnya.

Mendengar ucapan itu, rasanya begitu aneh keluar dari mulutnya. Mulut seorang penyair yang dulu begitu menggebu membicarakan soal puisi.

Dari dulu ia tidak prnah berniat meninggalkan puisi. Jangankan meninggalkan, tidak membicarakan puisi barang sehari rasanya bukanlah sosoknya. Maka hari ini, jika ia punya pemikiran semacam itu, bukankah itu suatu keanehan?

“Bukankah menjadi penyair saat ini tidak lebih dari manusia tidak berguna. Siapa yang akan peduli pada puisi. Bukankah pula banyak puisi yang ditulis, namun hanya akan membuat penulisnya hilang entah ke mana. Banyak penyair dilupakan, lantaran tidak lagi bisa menulis sewajarnya, dengan kejujuran seutuhnya. Banyak puisi lahir, tapi tidak ada yang berani membacakannya di mimbar. Tidak untuk dimiliki siapapun, kecuali orang yang menulisnya sendiri,” saat itu, dia terus menakik sambil melemparkan kekecewaan itu padaku.

Mengamati raut wajahnya itu, membuatku kian tak mengerti. Dulu, sebelum ia kembali ke kampung halaman, sekian peristiwa yang kami lewati bersama menjadikanku tahu, dia adalah pemegang prinsip nomor satu. Aku ragu bahwa dia berubah pikiran. Merubah prinsipnya tanpa sebab yang jelas.

“Kamu membohongi hatimu? Apa yang sudah terjadi?”

“Itu tidak penting untukmu.” Tiba-tiba ia menatapku tajam.

“Jangan mengelak. Aku tahu ada sesuatu.”

Aku menatap wajah Wiji. Wajah itu layaknya awan tebal yang mendung. Kelam, dan terasa sunyi.

“Aku hanya memikirkan Mamak.”

“Kau tau sejak lulus SD, Mamaklah satu-satunya sumber kehidupanku. Tapi, apa yang kemudian bisa kulakukan untuknya? Terlebih saat ini, dalam situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu, justru berdiri supermarket yang tumbuh angkuh di dekat pasar. Hasil jualan Mamak pun tidak seramai dulu.”

Mata itu mulai membasah, mencipta danau kecil di kelopak. Seperti embuh yang menempel pada daun jati.

“Dan beberapa minggu lalu, ruko Mamak di pasar kebakaran hebat. Semua hangus. Beras berkarung-karung itu, dan barang dagang lainnya tak bersisa.”

“Sejatinya pemadam kebakaran sudah berusaha memadamkan pasar tradisional itu. Tapi entah kenapa, mereka berhenti di separuh perjalanan pemadaman, sembari berdalih sudah turun hujan, kata mereka, api akan segera padam. Tapi toh nihil. Lebih dari tiga perempat bangunan pasar tinggal puing. Mamak pun menangis histeris tengah malam itu, setelah mendapat telepon dari kerabat yang kebetulan melintas.”

“Kerugian itu cukup membuat harapan-harapan kami lenyap. Untuk sementara waktu, Mamak menyambung hidup ikut berjualan ayam potong di Pasar Pagi. Meski tak seberapa, tapi cukup untuk hidup sederhana kami berdua.”

“Aku merasa ada yang tidak wajar dari kebakaran itu.”

“Apa yang membuatmu resah?”

“Jangan-jangan bukan konsleting listrik, tapi dibakar.”

“Pernah aku bilang ke Mamak, tapi Mamak menolak pendapatku dengan berkata bahwa hatinya sudah ikhlas. Aku tidak diizinkan berbuat apapun terhadap kecurigaanku itu.”

 

“Pernah juga aku ingin membentuk forum para pedagang pasar tradisional, tapi lagi-lagi Mamak melarangku. Takut-takut jika aku ditangkap, dibuang atau bahkan ditembak mati seperti Kang Udin yang sampe kini tak tau rimbanya hanya karena menulis berita yang menyudutkan pemerintah.”

“Maka semua serba sulit untukku. Hari-hari sekarang, kami hidup sekenanya, seadanya. Hatiku mengkerut melihat Mamak, sedangkan aku serasa jadi manusia yang tidak berguna, yang kubisa hanya urusan kata.”

“Dan puisi, ah puisi bisa apa dalam keadaan semacam ini.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang.”

Ia beranjak menuju halaman belakang. Lantas duduk di beranda.

 

Aku mengikutinya, duduk di sampingnya.

 

Saat itu langit sudah mendung. Sebentar lagi hujan. Aku masih setia menunggu di sampingnya. Berharap ada beberapa patah kata yang ia sampaikan. Aku tau, Wiji memang selalu ingin melakukan sesuatu dengan caranya. Tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa memahami. Aku rasa ini bukan lagi tentang kopi pahit dan tidak pahit itu, bukan pula soal filosofi menulis puisi. Ini soal perasaan yang teka-teki, soal dalamnya hati.

Wiji diam. Kami tidak juga bicara. Ia menatap jauh, meskipun aku tahu ia tidak melihat apa-apa. Di antara gerimis, aku kira ia tengah bergelut dengan hatinya. Aku cukup memahami bahwa memang tidak semua persoalan dapat dengan mudah diselesaikan dengan kata. Hanya butuh pengertian, dan tentu saja waktu.

Tidak lama hujan turun dengan kerinduan yang membabi buta. Kami berdua, aku dan Wiji, benar-benar tenggelam dalam musim hujan. Dalam dinginnya pertemuan.

“Dua hari lagi aku akan pulang. Aku akan buat forum untuk mengumpulkan para pedagang. Mencari fakta dan meminta pertanggungjawaban pihak pasar,” suaranya merayap pelan di antara gemuruh hujan.

 

“Ini tahun yang baik, dua minggu lagi pemimpin kita akan datang ke kampung kami. Aku hanya ingin semua orang tahu tentang ini. Tidak peduli jika kelak aku mendadak hilang tanpa kabar atau justru tiba-tiba mati. Aku hanya ingin semua orang menjadi berani.“

Tiba-tiba dia bangkit. Menyalamiku kemudian berbalik, meninggalkanku yang masih terduduk membisu.

Hujan mengguyur sisa pertemuan kami, meski kali ini tidak ada lagi puisi di antara kami.

 

Jejak Imaji, 2019

 

Angga T Sanjaya alumnus Univ. Ahmad Dahlan ini lahir di Wonosari, Gunungkidul pada 7 Juni 1991. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana UNY. Mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping. Kini tinggal di Yogyakarta. Bergiat di komunitas  “Jejak Imaji”.

Catatan: Pernah dimuat di Jawa Pos pada Ahad, 28 April 2019.