SAI "Penyair Perempuan dan Konflik Batin" karya Angga T Sanjaya (Tersiar di Jawa Pos Ahad, 5 Mei 2019)

Penyair perempuan dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern dapat dikata terbatas jumlahnya. Bila dicermati, keberadaan mereka semacam serpih gabah di tumpukkan jerami, di antara superioritas sejumlah penyair laki-laki. Setidaknya sejak awal kesusastraan Indonesia modern sampai permulaan kesusastraan Indonesia Mutakhir (sekiranya tahun 70-an) terdapat beberapa penyair perempuan yang menarik dibahas. Bukan saja sebagai barang langka, melainkan juga eksistensi dalam kesusastraan. Pandangan-pandangan hidup mereka patut dicermati sebagai bagian sejarah perpuisian Indonesia. 

 

Karya penyair perempuan ini tidak dapat disebut hanya sebagai semacam addendum saja bagi teks kesusastraan Indonesia. Meskipun cenderung muskil untuk benar menyebut karya mereka mewakili zamannya. Sebagian karya mereka (khususnya pada tahun 1940-an) tidak menampakkan relevansi yang identik. Oleh sebab itu, cukup sedikit nilai penyair ini dalam konteks kedudukan dalam angkatan atau periode. 

 

Namun di luar itu justru amat menarik bahwa di awal kesusastraan Indonesia modern kehadiran mereka tidak memperlihatkan anasir sosio-politik yang kental. Hal yang nampak kontradiktif pada kemudian, sebab dekade mutakhir itu karya mereka menjelma korpus yang penuh tuntutan. Suatu pandangan yang memperlihatkan konstruksi kedudukan diri perempuan. Perkembangan inilah yang cukup menarik untuk dicermati, sebagai suatu perubahan terhadap kondensasi keperempuanan yang demikian tajam. 

Pandangan Hidup: dari Batin ke Masalah Personal

Mengenai pandangan hidup para penyair perempuan ini secara mencolok tidak terpisahkan pengaruh sosio-kulturnya. Yang menarik justru keberadaan mereka tidak secara langsung berhubungan dengan angkatan kesusastraan zamannya. Kecenderungan menggarap tema sezaman angkatan 45 tidaklah giat dan nampak. Yang terjadi justru terhadap alam dan kehidupan batinlah mereka berpaling. 

Sebagai seorang perempuan, mereka senantiasa bersinggung dengan peristiwa hidup yang kontradiktif. Di satu bagian terseret oleh konstruksi modernitas dengan gaya hidup dan pendidikan yang memadai. Di sisi lain, pandangan hidup dan pengaruh lingkungan serta keluarga yang masih mengendap erat di benak. Walhasil, pandangan hidup yang tarik-menarik itu menjadi situasi yang acapkali mengisi dunia kepenyairan mereka. 

Bermula dari pandangan tersebut, dapatlah dibicarakan beberapa penyair perempuan yang cukup berpengaruh bagi sejarah kesusastraan Indonesia. Pertama, penyair perempuan pada angkatan 45 atau sesudah perang. Terdapat beberapa penyair perempuan yang dapat disebutkan, yakni Waluyati, Ida Nasution, Siti Nuraini, Suwarsih Joyopuspito, dan S. Rukiah Kertapati (Teeuw, 1980). Kedua, penyair perempuan pada dekade mutakhir. Satu pembahasan yang khusus ditujukkan pada Toety Heraty. 

Dari beberapa nama tersebut pertama, hanya Waluyati yang memungkinkan untuk dibahas lebih lanjut. Ida Nasution, penyair yang kemudian keberadaanya tidak berlangsung lama sebab sudah terlebih dahulu meninggal dunia, sedangkan Siti Nuraini tidak mencukupi bagi ulasan terhadap karyanya. Di samping itu, Suwarsih Joyopuspito dan S. Rukiah Kertapati lebih dekat terhadap penulis prosa dibanding dengan me-nyair. Meskipun S. Rukiah pernah menerbitkan kumpulan puisi, akan tetapi kedudukannya sebagai penyair cenderung tersisih oleh kefiksiannya.

Waluyati merupakan sosok perempuan yang dididik dalam lingkungan keraton dengan pendidikan agama Islam yang amat baik. Sebagai perempuan keturunan priyayi, ibuya seorang islam dan ayahnya cenderung pada teosofi, sehingga merasuklah pola lingkungan keluarga dalam batinnya. Menjadi menarik ketika semasa sekolah Waluyati sempat mendapatkan pendidikan agama kristen. Hal inilah yang memberikan corak dalam pandangan religiusnya. Waluyati meskipun ditempa dalam lingkungan keluarga Islam, namun pandangan religiusnya cenderung universal. Pandangan inilah yang mempengaruhi puisi-puisinya yang banyak berbicara tentang alam dan kesunyian batin. 

Salah satu sajak yang dapat menjadi gambaran pandangan hidup Waluyati terdapat dalam puisi “Nanti, Nantikanlah”. Dalam puisi ini dapat dilihat kecenderungan bakat alam Waluyati. Suatu usaha sekaligus menampakkan kepekaannya kepada ketenangan alam. 

Dalam puisi tersebut, setidaknya ada welas asih Waluyati terhadap alam. Meski ada sebuah bisik sosial, sedikitnya hanya terselip. Tentang penghargaan terhadap manusia dan sesama. Ada usaha untuk berbicara dengan lirih tentang bagaimana seharusnya mencintai sesama. Kekuatan alam yang merasuk dalam jiwa Waluyati. Sebagai sebuah ladang sunyi, alam adalah tempat berbicara Waluyati dengan pelan dan penuh kasih. 

Kecenderungan memanfaatkan alam terdapat dalam puisi-puisi Waluyati yang lain (dalam Gema Tanah Air, 1982). Semisal, “Engkau”, “Berpisah”, “Siapa?” juga “Telaga Remaja”. Nampak pelariannya terhadap kesunyian, segala sesuatu yang bersifat gaib dalam “Engkau”. Kebiasaanya terhadap sunyi telah membuatnya sebagai seorang pencari ketenangan batin. //Engkau ibarat kolam di tengah-tengah belukar, /Beriak-riak tenang, /Membiarkan nyiur sepasang/ bercerminkan diri ke dalam/ airmu/.... //Tapi /Mengapa, mengapa dasarmu/ tak kunjung menampak?//. Waluyati menampakkan diri sebagai seorang pecinta alam yang melemparkan jiwanya sampai ke dasar pencarian terhadap hakikat yang nampak dan tidak nampak, yang lahir dan yang gaib. Kendati pertanyaannya akan sampai pada jawab yang telah lebih dulu ia selami, sebuah ketenangan hidup.

Dalam puisi “Telaga Remaja” dan “Berpisah”, agaknya permenungan terhadap kehidupan batinnya nampak lebih jernih. Kerinduan terhadap masa lampau, keadaan remaja yang lekas sirna berganti jiwa yang berlainan, //Melihat gadis perlahan pergi/ Pinggang gemulai hilang menari, /Ingin kuteriak memecah sunyi, /”Bilakah kau datang bermain lagi?”//. Permenungan terhadap kerinduannya tidak berhenti di situ. Keresahan batin untuk menuntut ketenangan kembali menyeruak dalam “Berpisah”. Sejalannya waktu, diri yang telah rubah menjadi lebih dewasa, menjadi tumbuh kewanitaannya, maka ada sebentuk bunga yang digenggam dalam tangan mendadak gemetar dan sekaligus terlepas. //Di kala senja kau jalan sendiri. Hanya bunga kau bawa lari/ mengirimkan wanginya ke arahku lagi//. 

Pandangan yang pasrah terhadap nasib sebagai seorang perempuan agaknya melekat dalam benak Waluyati. Sebagai seorang perempuan, ketenangan dan kenyamanan lebih ia harapkan. Pandangan-pandangan yang cenderung sunyi untuk menapaki kehidupan tidak menampak adanya pengelanaan yang lebih berat dan penuh tuntutan. Sebab, lagi-lagi, ia hanya mengharapkan suasana yang harmonis dan penuh keindahan. Sebuah keutuhan rohani yang ia dapatkan dari alam.

Kemunculan penyair perempuan yang tersebut di atas, dapat dikata terbatas geraknya. Keterbatasan itulah kemudian menghilangkan daya mereka, entah lenyap begitu saja, meninggal tanpa ‘nama’, ataupun beban belenggu ikatan sosio-politik dan adat yang memaksa harus ‘pergi’. Sejumlah hal ini menjadi sintesis atas kepenyairan perempuan yang minim jumlahnya itu. 

Kedua, pada dekade selanjutnya pada permulaan tahun 70-an, dapat dilihat kecenderungan yang nampak berlainan sekali. Penyair perempuan bukan lagi pribadi yang menerima nasib dan melarikan hidupnya terhadap kesunyian pasrah diri. Namun ada upaya lebih jauh untuk menggugat kedudukan mereka dalam hidup. 

Toeti Heraty merupakan penyair perempuan yang disebut paling terkemuka dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Dalam kurun waktu yang mulai berkembang itu, Toetilah yang yang muncul sebagai penyair perempuan dengan pandangan-pandangan yang khas sebagai seorang perempuan. Karya-karyanya banyak berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam belenggu dominasi laki-laki. Beberapa kumpulan sajaknya antara lain, Sajak-Sajak 33 (1974), Dua Wanita (1967), Siklus (1969), dan sebuah sajak berjudul Geneva Bulan Juli.

Pandangan-pandangan Toeti mengenai kedudukan sebagai seorang perempuan seolah tarik menarik antara berserah diri dan melawan. Di sisi lain dalam tulisannya akan ditemukan gugatan perempuan terhadap cengkeraman laki-laki, namun sebaliknya, sajaknya pun terkadang justru memojokkan kedudukan kaumnya yang dianggapnya lemah. 

Dalam sajaknya “Siklus” setidaknya ada ungkapan kesal pada laki-laki atas kehendak yang sepah dan tidak bersetia. Setidaknya, dari beberapa sajak yang demikian ini telah menunjukkan pandangan Toeti yang mempribadi. Semacam pergolakan batin perempuan yang penuh gugatan atas ketidakterimaan terhadap kenyataan hidup, //...resmi bersikap menunggu memberi waktu/ untuk berkemas/ melempar diri dalam api, ah janda/ setia dan perawan suci/ tidak dihadapkan/ hanya ketulusan untuk berjabat tangan/ tersenyum ringan//. Juga, berupa ketidaksukaannya terhadap laki-laki yang menginjak-injak perempuan. Kekuatan dominan patriarki yang menelanjangi harga diri perempuan dalam “Dan Bunga Tenar”. Mengenai bunga yang layu di pinggir jalan, sedangkan sebuah tari pentas dipersiapkan untuk teri topeng laki-laki. 

Dalam pandangan yang kontra, Toeti juga memandang perempuan sebagai yang keliru, tidak tahu diri, dan lemah. Dalam “Dua Wanita” ia menyoroti kekosongan perempuan, pembicaraan yang tidak berguna dan penuh tipu daya, //ah, sandiwara ini pun/ sudah terlalu lama, bila/ dua wanita bicara//. Sedangkan ada gunjiangan yang ia tunjukan pada perempuan modern yang penuh sia-sia, //kenakalan kerikil menggoyah tumit selop tinggi/ belum lagi angin melambaikan selendang warna-warni/ ...Asyik dan riang/ gerak, warna, irama rapi membawa kesungguhan/ arisan pada minggu pagi//, suatu pandangan miring terhadap perempuan yang penuh euforia dalam belenggu diri. Dalam suasana demikian, nampak sarkasme terhadap kaum perempuan yang dinilainya penuh kesia-siaan. Suatu gaya puisi ironi yang khas dari Toeti Heraty. 

Dari kutipan yang serba singkat, secara pendek kata, terdapat gambaran yang jelas mengenai puisi Toeti Heraty yang cenderung individual dan pribadi. Upaya-upaya untuk mengolah gugatan batinnya terhadap kehidupan itu sendiri nampak lugas dan jelas. Ciri yang terlihat dari seorang penyair perempuan yang modernis dan terbuka terhadap kehidupan. Kecenderungan demikian agaknya memberikan pengertian tersendiri terhadap kerja kreatif perempuan sampai awal kesusastraan Indonesia mutakhir.  

Dengan demikian, dapat kita cermati ketidaklepasan konflik batin dan pribadi perempuan dalam menyikapi kehidupan. Bila Waluyati telah menceburkan dirinya pada alam dan kesunyian sebagai wujud dari ketenangan batin seorang perempuan Jawa, Toeti Heraty secara impresif berusaha menyatakan gugatannya dengan diliputi ironi dan terkadang penuh sarkasme. Kenyataannya bahwa penyair perempuan tersebut belum keluar dari dirinya sendiri nampak dari pandangan mereka yang begitu personal dan mempribadi. Barangkali hal inilah yang memberikan kesan bahwa mereka seolah terpisahkan diri dari zamannya.

Jejak Imaji, 2018

Angga T Sanjaya, alumni Univ. Ahmad Dahlan ini lahir di Wonosari, Gunungkidul pada 7 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana UNY. Mengajar di SMP Muhammadiyah 1 Gamping. Kini tinggal di Yogyakarta. Bergiat di komunitas  “Jejak Imaji”.

 

*Catatan: Pernah tersiar di Jawa Pos pada Ahad, 4 Mei 2019.